Oleh Prof Nasaruddin Umar
Idul Fitri di Indonesia sudah menjadi kebudayaan. Tradisi Hari Raya Idul Fitri di Indonesia tidak pernah ditemukan di negara-negara manapun. Salah satu keunikannya adalah mudik ke kampung halaman. Berbagai macam motif para pemudik.
Ada yang menjadikannya sebagai momentum rutinitas untuk menziarahi orang tua atau keluarga, termasuk menziarahi makam keluarga dekat. Ada yang memanfaatkan libur panjang untuk mengurus kepentingan sosial-ekonomi keluarga di kampung.
Dan ada pula yang ikut-ikutan mudik karena pengaruh psikologis media yang mem-blow-up suasana Lebaran Idul Fitri. Apalagi dalam dekade terakhir ini, pemerintah sudah menggabungkan libur hari raya ini dengan cuti nasional, sehingga waktu libur untuk Idul Fitri semakin panjang.
Berbagai perencanaan sudah dirancang di sekitar hari libur panjang ini. Termasuk di antaranya sejumlah pasangan memanfaatkan untuk melangsungkan perkawinan dan hajatan-hajatan lainnya. Wajar jika kesan konsumerisme masyarakat semakin tinggi di sekitar hari raya ini.
Bank Indonesia sendiri setiap tahun mempersiapkan cadangan uang kas yang cukup tinggi untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Volume penjualan kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor, melonjak tinggi menjelang Idul Fitri.
Peran kendaraan bukan hanya sebagai sarana transportasi, tetapi sebagai simbol sosial ekonomi masyarakat. Namun, ada suatu hal perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya yang perlu mudik dalam suasana Lebaran bukan hanya fisik-biologis kita, tetapi juga rohani kita.
Sesuai dengan namanya, Idul Fithrah, yakni kembali ke fitrah, yaitu kembali kepada kesucian diri. Bulan Ramadhan (secara harfiah berarti membakar hangus) telah dilewati. Diharapkan bulan Ramadhan telah membakar hangus seluruh dosa masa lampau kita.
Dengan demikian, memungkinkan kita kembali atau mudik ke jati diri kita seperti semula ketika baru dilahirkan dari kandungan ibu. Mudik ke jati diri kita yang paling luhur sangat dimungkinkan karena insya Allah berbagai amalan, baik wajib maupun sunah, telah dilakukan selama sebulan penuh.
Kita digodok dan ditempa siang dan malam oleh berbagai cobaan dan tantangan. Betul-betul kita berhadapan dengan diri kita sendiri. Bayangkan, semua makanan dan minuman tersedia di dalam kulkas dan sepenuhnya milik kita, namun tidak boleh dimakan karena kita puasa.
Istri atau suami yang halal bagi kita di dalam rumah sendiri tidak bisa melakukan hubungan suami-istri lantaran kita berpuasa. Diharapkan dengan telah lulusnya kita dari ujian berat ditambah amaliah yang maksimun selama Ramadhan mempercepat proses mudik ke kampung halaman rohani kita.
Seperti harapan para pemudik untuk lebih lancar pulang ke kampung halamannya masing-masing.
Sumber