|
Keberadaan kebun-kebun teh yang sebagian besar peninggalan zaman Belanda, kini terancam digantikan dengan kebun kelapa sawit maupun buah-buahan durian, manggis, dan mangga. Ini karena perubahan iklim yang turut menaikkan suhu di dataran tinggi. Dampaknya, menurunkan kualitas teh di Indonesia. Tampak para pekerja perkebunan teh Ciliwung di daerah Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/11/2012) pagi, usai memetik daun teh |
Indonesia diperkirakan masih berutang sekitar Rp 20 triliun dari berbagai sumber pendanaan untuk menjalankan proyek-proyek
perubahan iklim. Sebagai negara berkembang dan terdampak, sekaligus memiliki kawasan hutan 120 juta hektar, berutang dinilai tidak tepat.
"Indonesia yang punya oksigen (hutan). Mereka (donor) yang seharusnya bayar," kata Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, di Jakarta. Ia ditemui seusai membuka 3rd Indonesia Climate Change Education Forum & Expo yang digelar Dewan Nasional Perubahan Iklim di Jakarta Convention Center, Senayan.
Ia ditanya mengenai hasil analisis Koalisi Anti Utang (KAU) yang menyebutkan Indonesia berutang Rp 20 triliun (2,3 miliar dollar AS) dari negara maju. Dana itu lebih difokuskan pada program mitigasi, terutama pada sektor konversi lahan (land use, land-use change and forestry/ LULUCF), bukannya mengutamakan keselamatan rakyat terdampak.
Menurut Kambuaya, angka-angka besaran utang tersebut belum diketahui pasti. Namun, ia memastikan akan mengeceknya.
Arief Yuwono, Deputi Menteri LH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, mengatakan, bantuan berupa pinjaman atau hibah terkait pendanaan iklim bukan merupakan bentuk jual beli karbon. Pada tingkat global, masalah perubahan iklim dikaitkan perdagangan karbon. Negara maju membayar sejumlah dana atas emisi karbon yang mereka hasilkan kepada negara penyerap karbon, termasuk Indonesia, yang di antaranya melalui pemeliharaan keutuhan hutan.
Terkait pelepasan emisi itu, pada pertemuan kelompok negara dengan perekonomian besar (G-20) di Pittsburgh, AS, tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan mengurangi 26-41 persen emisi gas rumah kaca pada tahun 2020. Pernyataan ini mengejutkan, kemudian hal itu ditegaskan lagi dalam COP XV Kopenhagen, Denmark 2010.
Balthasar mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup sebagai focal point soal perubahan iklim telah menghitung pencapaian nasional penurunan emisi. "Sampai tahun ini, pencapaiannya 18 sekian persen," ucapnya.
Ia yakin pada tahun 2020 penurunan bisa ditekan hingga memenuhi janji Presiden Yudhoyono. Namun, upaya tersebut membutuhkan dukungan setiap sektor yang berperan melepas emisi, seperti lingkungan hidup (limbah dan sampah), kehutanan (LULUCF), pertanian (pupuk), perhubungan (transportasi), dan perindustrian.
Sumber